SANTRIMENARA.COM, REMBANG – Pondok Pesantren Ma’hadul Ulumisy Syar’iyyah (MUS) Sarang Rembang menggelar Musyawaroh Kubro (Bahtsul Masa’ail) sebagai bagian dari rangkaian acara Peringatan Rojabiyyah dan Haul Ke-52 KH. Ahmad bin Syu’aib ayahanda KH. Abdurrochim atau kakek dari KH. Maimoen Zubair Rabu sampai dengan Kamis (28-29/03/18) dengan mengundang peserta Bahstu dari beberapa pondok pesantren besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Selepas Musyawaroh Kubro nantinya akan disusul acara Pentas Musabaqoh selama lima hari dari 30 Maret sampai dengan 3 April. Sebagai puncak acara nanti akan ada Tahlil Umum pada Kamis siang (05/04) dan malam harinya Pengajian Umum yang akan dihadiri oleh Al Habib Umar bin Ahmad Al Muthohar, SH dari Semarang dan KH. Thoifur Mawardi dari Purworejo.
Pengasuh PP. MUS Sarang Rembang KH. M. Said Abdurrochim saat acara Penutupan Musyawarah Kubro menyampaikan bahwa salah satu ciri khas pondok pesantren di Indonesia -terutama di Jawa- adalah Bahtsul Masail dengan mengundang beberapa peserta pondok pesantren lain dan juga menghadirkan Lajnatut Tashih dan Lajnatut Tahrir untuk membahas masalah-masalah waqi’ah (kekinian) yang sedang berkembang di masyarakat.
Di Negara-negara yang lain, seperti di Yaman, Bahtsul Masail Waqi’ah dilarang. Mereka beralasan bahwa pembahasan ilmu itu tidak perlu dimujadalahkan (perdebatkan) di hadapan khalayak ramai. Kalau ada masalah-masalah waqi’ah yang berkembang cukup ditanyakan kepada para Masyayikh dan Guru-Guru yang ada. Seperti juga di Pakistan dan India, Bahtsul Masail adalah forumnya para Ulama dan para Mufti untuk menyelesaikan masalah-masalah yang tengah berkembang.
Lalu apakah Bahtsul Masail di pondok pesantren seperti halnya di PP. MUS ini tidak perlu, Sebagaimana di Negara-negara timur tengah?
Menurut pengasuh pondok pesantren MUS Sarang pribadi, Bahtsul Masail tetap perlu untuk melatih ketajaman berfikir, untuk bisa beristimbat (menggali hukum agama) dengan baik, untuk bisa menjami’kan (mensingkronkan), memadukan ibarot-ibarot kitab-kitab fikih. Di samping itu juga untuk forum ta’aruf pondok-pondok pesantren yang ada.
Diceritakan bahwa ada salah seorang delegasi dari PP. MUS pernah menghadiri Bahtsul Masail salah satu pondok di Jawa Timur. Dalam Mauidhah Kyai pondok tersebut mengatakan bahwa pelopor pertama kali yang mengadakan Bahtsul Masail Waqi’ah (diskusi permasalahan aktual) dengan mengundang pondok-pondok pesantren lain adalah pondok MUS Sarang.
Sejarah ini (PP. MUS sebagai pelopor pertama kali Bahtsul Masail antar pondok) menurut Kiai Said perlu untuk divalidkan, yaitu dengan meneliti, mengkaji dan menggali informasi dari pondok yang lain, yang sudah mengadakan Bahtsul Masail. Dengan begitu baru bisa disimpulkan sebenarnya manakah pondok pesantren yang pertama kali mengadakan kegiatan Bahtsul Masail dengan mengundang delegasi dari pondok-pondok lain.
“Kalau fakta sejarah ini memang benar adanya, saya nilai itu hanya sebagai tafdhil (keutamaan) yang bersifat Karena Yang Pertama. Bukan dalam arti tafdhil, kelebihan yang bersifat kualitas, lebih banyak peserta yang diundang, kemeriahan dan sebagainya. Saya yakin di pondok-pondok lain lebih berkualitas, lebih meriah dari Bahtsul Masail yang ada di pondok MUS ini.” lanjut Kiai Said
Kemudian Kiai Said menganalogkan kelebihan Bahtsul Masa’il PP. MUS Sarang dengan keutamaan Ibnu Mu’thi sebatas sebagai pelopor bukan dari segi kualitas yang disitir beliau dari Alfiyahnya Ibnu Malik. Kiai Said kemudian menuturkan bahwa Bahtsul Masail antar pondok Sarang sendiri sudah ada sejak sebelum 52 tahun yang lalu yang biasanya dilaksanakan di Masjid Jami’ Sarang. (smc-777)