SANTRIMENARA.COM, REMBANG – Status produk hukum hasil Bahtsul Masail pondok pesantren sebagai tradisi diskusi ilmiah di kalangan pesantren akhir-akhir ini dianggap meragukan. Hal ini karena melihat peserta bahtsul masa’il adalah para santri yang masih belajar di pondok pesantren. Bukan oleh para ulama besar sekelas mufti, faqih dan sejenisnya.
Menyanggah anggapan tersebut KH. Said Abdurrochim Pengasuh PP. MUS Sarang saat Penutupan acara Bahtsul Masail dalam rangka Peringatan Rojabiyyah dan Haul Ke-52 KH. Ahmad bin Syu’aib (29/03) menyatakan bahwa status atau produk hukum yang diputuskan Bahtsul Masail seperti halnya di pondok MUS, benar dan bisa dipertanggungjawabkan selama ada bimbingan dan arahan dari Dewan Muharrir dan Dewan Mushohih. Dan Kiai Said yakin kegiatan semacam ini dihadiri oleh peserta musyawarah yang mempunyai kapasitas cukup untuk memecahkan permasalahan-permasalahan waqi’ah yang diambil dari ibarat-ibarat fuqaha’.
Dalam mencetuskan masalah-masalah kekinian adalah Fardlu Kifayah (kewajiban kolektif) bagi orang yang mumpuni, menguasai dan telah mencapai maqom mufti. Oleh karena itu tidak ada alasan bagi orang yang mumpuni untuk menghindar memecahkan suatu masalah waqi’ah. Bahkan harus secepatnya dan tidak boleh ditunda-tunda ketika masalah waqi’ah tersebut tengah berkembang, karena menunda untuk menjelaskan suatu masalah ketika telah dibutuhkan hukumnya tidak boleh.
Menurut Kiai Said kegiatan Bahtsul Masail telah mengalami banyak kemajuan. Diantaranya adalah semakin lengkapnya referensi, maraji’ untuk pengambilan ibarot. Demikian, karena kalau dilihat sejarah, sebelum tahun 80-an sulit sekali pondok-pondok untuk mempunyai kitab-kitab besar (muthowwalat).
Kemajuannya lagi lanjut Kiai Said adalah kegiatan Bahtsul Masail tidak hanya dimonopoli oleh kaum santri putra, namun kaum santri putri juga tidak mau ketinggalan mengadakan kegiatan Bahtsul Masail khusus santri putri yang pelopor pertamanya adalah santri-santri putri Hidayatul Mubtadiat Lirboyo.
Dalam perkembangannya, Bahtsul Masail juga ada kelemahannya. Kelemahannya yaitu produk Bahtsul Masail seringkali kesulitan untuk mengaplikasikannya di tengah-tengah masyarakat apalagi di hukum pemerintahan. Hal ini karena seringkali berbenturan dengan hukum-hukum yang ada di Indonesia. Tentunya dalam keadaan seperti ini, selain kita memutuskan, kita harus merekomendasikan dan mensosialisasikan kepada pemerintah bagaimana keputusan Bahtsul Masail ini bisa diterapkan di pemerintahan.
Jenis-jenis Ilmu Fikih itu ada sepuluh. Salah satunya adalah ma’rifat ahkam al hawadits (mengetahui hukum-hukum kekinian). Ini adalah jenis fikih yang paling sulit. Karena dalam pembelajarannya, kita dihadapkan masalah-masalah waqi’ah yang berkembang di tengah-tengah masyarakat yang belum ada nash sharih (teks jelas) nya di kitab-kitab fikih. Karena tidak ada nash sharihnya, dalam mencetuskan hukum adalah dengan mentandhirkan (menyamakan) dengan masalah-masalah yang telah ada di kitab fiqih dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Oleh karenanya, banyak ulama’ yang mengatakan inilah hakikat fiqih sebenarnya.
Tidak semua orang yang hafal ilmu fiqih mempunyai kemampuan untuk berBahtsul Masail. Karena dalam berBahtsul Masail harus benar-benar mempunyai pikiran yang mumpuni dan nalar yang tajam sehingga bisa memecahkan masalah yang tengah berkembang. Pengasuh PP. MUS Sarang mengutip sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya “Banyak sekali orang yang hafal fiqih, tapi dia tidak Faqih (pakar Fiqih).
Pada masa Imam Syafi’i, sebenarnya banyak ulama’ yang hafal hadits melebihi Imam Syafi’i. Namun hebatnya Imam Syafi’i bisa menelurkan kajian-kajian fikih dan bisa membuat madzhab sendiri yang mana hal ini tidak bisa dilakukan oleh ulama-ulama pada saat itu meski hafal hadits melebihi Imam Syafi’i. Ulama-ulama saat itu mengatakan bahwa Imam Syafi’i bisa seperti itu karena memiliki akal yang tidak ada bandingannya. (smc-777)