Oleh Arief Azizy
SANTRIMENARA.COM, PROFIL – KH. Abdul Hadi merupakan pendiri dan pengasuh pertama Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta. Lahir pada tahun 1921 – 1999 di dusun Gaten, Condongcatur, Depok, Sleman Yogyakarta.
KH. Abdul Hadi merupakan putra dari pasangan almarhum KH. Syafi’i dan Ny.Hj Syafi’i. Merupakan keluarga yang berada dan sangat peduli dengan pendidikan, khususnya pendidikan agama.
Oleh karena itu, ketika beranjak remaja, KH. Abdul Hadi disekolahkan oleh orang tuanya di sekolah rakyat. Tentu saja, kesempatan yang dimiliki KH. Abdul Hadi untuk mengenyam pendidikan seperti itu tidak banyak dimiliki anak-anak lain sebayanya kala itu.
Setelah beliau menamatkan pendidikan dasarnya, KH. Abdul Hadi dikirim oleh orang tuanya untuk menimba ilmu agama pada beberapa ulama di sekitar Yogyakarta, seperti Alm. KH. Muhdi, KH. Muhammad (Krapyak Lor), KH. Ashari (Lempuyangan), KH Muhsin (Pomahan), dan beberapa daerah di Mlangi Sleman.
Dari guru-gurunya tersebut, KH. Abdul Hadi tidak sekedar belajar ilmu agama, tetapi juga belajar tentang hidup dan kehidupan. Oleh karenanya, ia tidak sombong walaupun pada zaman itu termasuk masih sedikir orang yang berkesempatan memiliki pendidikan dasar dan belajar kepada kiai-kiai berpengaruh di wilayah Yogyakarta.
Setelah dewasa, KH Abdul Hadi dinikahkan dengan Ny. Hj Hadiah binti H. Dahlan dan bermukim di dusun Gaten. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, KH. Abdul Hadi bekerja sebagai pedagang (juragan) hasil pertanian dan lembu.
Berkat keuletan, kejujuran, dan kerendahan hati, dalam waktu yang relatif singkat KH Abdul Hadi telah menjadi petani dan saudagar sukses. Kesuksesannya justru menjadi cambuk bagi KH. Abdul Hadi untuk terus bekerja, berkarya dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat.
Seiring dengan semakin baiknya kehidupan ekonomi keluarga, KH Abdul Hadi mulai merintis pengajian yang bertempat di masjid yang merupakan wakaf ayahnya (KH. Syafi’i).
Pengajian rintisan KH. Abdul Hadi pada awalnya hanya diikuti oleh masyarakat sekitar Gaten. Seperti H. Salman dari dusun Santren, Drs. Maryono dari dusun Cepit, H. Kuat Hadi Kusnanto dari dusun Laren, KH. Hidayatullah dari dusun Seturan dan H. Muhajir dari dusun Mundu.
Berkat keuletan, kesabaran dan kecerdasan dalam membaca arah pemikiran masyarakat, dan pola masyarakat dalam bersosialisasi dengan lingkungan (analisa sosial), pengajian yang disampaikan lambat laun banyak pengikutnya.
Dalam menyampaikan materi pengajiannya, KH. Abdul Hadi selalu berdasarkan kebutuhan masyarakat. Dengan cara demikian, maka pengajian yang diselenggarakannya tidak saja dapat mencerdaskan dan memberikan manfaat kepada jama’ahnya, tetapi juga mendorong terjadinya perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Merespon kebutuhan masyarakat, pada tahun 1961, KH. Abdul Hadi mendirikan Pondok Pesantren yang diberi nama “Pondok Pesantren Salafiyah“. Dilihat dari namanya, pesantren yang didirikan KH. Abdul Hadi tersebut bertujuan untuk mencetak santri yang memiliki kepribadian sebagaimana ulama-ulama salaf.
Pada awal pendiriannya, kebanyakan santrinya adalah santri kalong atau santri yang hanya datang pada waktu malam. Sedangkan santri yang bermukim di rumah hanya berjumlah 5 orang.
Semakin lama jumlah santri KH. Abdul Hadi semakin banyak. Walaupun telah menjadi seorang kiai muda dengan santri yang banyak, KH. Abdul Hadi tetap mengunjungi lahan pertanian yang beliau miliki dengan cangkul dipundak dan sabit ditangannya, setiap pagi
Pada tahun 1963 perpolitikan di Indonesia bergolak karena propaganda Partai Komunis Indonesia (PKI). Melihat kodisi tersebut, ia diminta oleh ayahnya KH. Syafi’i mendirikan sekolah agama. Sekolah yang dimaksud adalah “sekolah kang ono pengajiane”, yaitu sekolah yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama saja, tetapi juga mengajarkan ilmu umum juga.
Dengan kehadiran sekolah tersebut, para para santri khususnya bisa menguasai ilmu agama sekaligus keilmuan umum sehingga tidak terpengaruh propaganda PKI dengan paham komunisnya. Menyelenggarakan pendidikan umum pada saat itu merupakan langkah yang sangat progresif, apalagi sebagian masyarakat masih cenderung memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum.
Pada tahun 1963, KH. Abdul Hadi, dibantu santri-santri dan masyarakat sekitar mendirikan sekolah agama tingkat dasar (Madrasah Ibtidaiyah) yang bernaung dibawah lembaga Ma’arif NU, yang sekarang menjadi MI Wahid Hasyim.
Karena keterbatasan tempat dalam melakukan kegiatan belajar-mengajar, kelas sementara ditempatkan di rumah KH. Abdul Hadi. Pada tahun 1966, KH. Abdul Hadi bersama para murid dan aktivis PMII medirikan sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) yang diberi nama PGA Wahid Hasyim (sekarang menjadi MTs dan MA Wahid Hasyim).
Pada tahun awal berdirinya kegiatan belajar mengajar PGA Wahid Hasyim masih menumpang di sekokah dasar (SD) Ambarukmo yang berlokasi di Jl. Solo, masuk siang hari setelah kegiatan SD selesai. PGA Wahid Hasyim menumpang di sana kurang lebih selam lima tahun. Kemudian, karena suatu hal, kegiatan belajar mengajar di tempatkan di rumah KH. Abdul Hadi yang dipakai MI.
Untuk mencerdaskan masyarakat dan mensyiarkan ahlussunnah wal jama’ah, KH. Abdul Hadi tidak hanya mengorbankan waktu dan tenaganya, tetapi juga hartanya. Hasil dari aktivitas berdagang dan bertani ia gunakan untuk menambah sarana dan prasarana pendidikan.
KH Abdul Hadi hadir sebagai sosok pribadi yang sederhana, tulus, dan sangat tawadlu’ (rendah hati), terbuka, realistis, ulet dan teguh pendirian. Kelembutan ini menjadikannya pribadi yang sangat dicintai dan dihormati sehingga tidak sedikit yang secara suka rela membantu perjuangan beliau untuk menjadikan pondok Pesantren Wahid Hasyim sebagai pusat pendidikan islam.
Seiring semakin banyaknya jumlah santri, baik yang hanya belajar agama maupun dari kalangan mahasiswa (sekarang UIN) Sunan Kalijaga dan PGA, pada tahun 1976 KH. Abdul Hadi mengganti nama Pondok Pesantren Salafiyah menjadi Pondok Pesantren Wahid Hasyim. (edited-212)
Arief Azizy, alumnus MA NU TBS Kudus 2015, Mahasiswa Psikologi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Wew..