SANTRIMENARA.COM, REMBANG – Habib Ali Mayong Jepara yang terkenal karamah dan jadzabnya di masyarakat sekitar adalah santri kuno di madrasah TBS Kudus. Murid Habib Ali bernama Habib Abdul Qadir al-Kaaf menceritakan apa yang pernah didengar langsung dari Habib Ali ketika masih nyantri di madrasah yang berdiri tahun 1928 itu.
Menurut Habib Qadir, gurunya tersebut mengaku mendapatkan penghormatan tinggi ketika sekolah di madrasah TBS. Adab yang dipraktikkan para guru TBS ketika mengajar di kelas sangat dijunjung tinggi.
Biasanya, murid lah yang mencium tangan guru sebagai wujud hormat. Namun, di TBS, kata Habib Qadir, guru justru yang mencium tangan Habib Ali sebagai muridnya karena mereka sangat menghormati keturunan Kanjeng Nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam.
Tidak hanya itu, karena sumber pengetahuan dari datuk para habaib, yakni Rasulullah, para guru di TBS merasa malu jika mengajar cucu Nabi Muhammad SAW. “Saya tidak mengajari jenengan lho Bib. Saya mengajar murid-murid lain,” kata seorang guru di kelas kepada Habib Ali, ditirukan Habib Qadir di Rumahnya, Desa Kenongo Rt. 04 Rw. 02, Sedan, Rembang, Sabtu (6/08/2016) malam.
Bahasa yang pantas dalam etika pengajaran ilmu dari ulama bukan dzurriyah langsung dari Rasul adalah menyampaikan pesan sang kakek kepada para cucunya, yang memang diberi beban risalah kenabian kepada umat Islam di sekitarnya. Dakwah bagi para habaib adalah kewajiban tak tertulis, dengan cara apapun mereka mampu.
Kisah di atas mengingatkan kepada cerita Habib Abdullah al-Kaaf yang pernah mengajar di madrasah TBS sejak berdiri. Rumahnya yang ada di selatan perempatan Sucen, yang kini jadi pondok pesantren peninggalan KH Hasan Askari atau dikenal dengan Mbah Mangli, dulu pernah dijadikan rutinan shalawat Burdah karya Imam Busyiri.
Rumah yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari bangunan lama madrasah TBS di Baletengahan Kudus itu ada papan setinggi 70-an centimeter yang digunakan untuk menaruh wedang dan makanan ringan para tamu yang hadir.
Antara lantai tempat duduk peserta burdahan dan hidangan makanan usai wirid Burdah, sengaja dibuat bertingkat seperti undak-undakan anak tangga. Tujuannya agar makanan tidak dilewati langkah kaki manusia. “Agar tidak melangkahi Burdah atau habis baca Burdah orang tidak bisa dilangkahi,” ujar Habib Qadir, cicit Habib Abdullah.
Membaca Burdah yang berisi pujian kepada Rasulullah pun ada adabnya. Apalagi kepada keturunan Rasul. Menurut cerita Kiai Muadz, Kajen, Tayu, Pati, pengarang Imam Bushiri Burdah (pengarang Kitab Burdah) saat masih hidup (610-695H/ 1213-1296 M) pernah dilarang banyak orang berkunjung ke kota suci Madinah. Bukan dicekal ke tanah manusia suci dimakamkan, tapi dicegah agar kota suci itu tidak guncang.
Saking mahabbahnya kepada Nabi, ketika Imam Bushiri membaca karya agungnya tersebut, Nabi selalu hadir dengan tingkat kecintaan yang bisa mengguncang alam nyata kota Madinah. Nabi mengasihi pengarang Kitab Burdah sebagaimana Imam Bushiri mencintai Rasul Habibullah. Kekuatan cinta keduanya bisa mempengaruhi mekanisme kerja alam nyata.
Akhlaq yang ditunjukkan oleh Habib Abdullah al-Kaaf terhadap Kitab Burdah itulah yang barangkali ditiru oleh para guru yang mengajar di TBS Kudus. Habib Abdullah mengagungkan pecinta Nabi kelas wahid, sementara para guru mengagungkan dzurriyah Rasul yang jadi muridnya, karena ta’dzim. Semoga ini bisa ditiru oleh semua santri menara. (smc-212)
allahu akbar,
itulah akhlak – akhlak pendahulu yang begitu murni dari lubuk hati karena cinta kepada sang penghulu cinta baginda nabi muhammad shollallahu alaihi wa sallam.
manaqib beliau beliau sangat penting tuk dibaca serta dipublikasikan, agar generasi skrang tidak kepaten obor..
terimakasih.