Oleh Arif Chasanul Muna
SANTRIMENARA.COM, OPINI – Ada tiga catatan penting Rangkaian acara Konferensi Internasional Bela Negara di Kota Pekalongan 27-29 Juli 2016 lalu. Muktamar yang dihadiri para ulama sufi dari 40 negara ini disatukan oleh misi yang sama yaitu misi persatuan dan perdamaian. Ada aura istimewa yang sangat terasa dalam rangkaian acara Muktamar tersebut, yaitu aura spiritual dan aura mahabbah terhadap Rasulullah saw. pengusung risalah rahmah bagi semesta alam.
Puluhan ulama luar negeri dan ratusan ulama dalam negeri yang disatukan dalam ikatan mahabbah ini menggelorakan semangat bela negara untuk kemaslahatan dunia Islam dan juga untuk Indonesia. Terdapat beberapa hal menarik yang menjadi catatan penting dalam Muktamar tersebut:
Pertama, tema dan materi yang dibahas sangat penting bagi eksistensi dan masa depan umat Islam di panggung dunia. Tema yang disajikan merupakan tema fundamental yang menjadi fondasi bagi agenda-agenda penting umat Islam. Bukan hanya sekedar menumbuhkan gelora rasa cinta kepada tanah air dan bangsa, tapi langkah-langkah strategis untuk memperkuat dan memajukan bangsa juga dibahas dan didiskusikan.
Materi yang dipaparkan oleh para masyayikh dapat dikelompokkan ke dalam tiga tema besar. Pertama adalah membendung pemikiran dan gerakan yanig berpotensi menimbulkan konflik dan disintegrasi bangsa, seperti faham serta gerakan ekstrimisme dan takfiri. Faham tersebut berkelindan dengan pemikiran dan gerakan anti kerukunan antar umat beragama, yang dapat mengancam persatuan dan persaudaraan umat dan bangsa.
Arah pembicaraan sesi ini tentunya adalah untuk membentengi bangsa dari ancaman perpecahan dan perang saudara, serta untuk memperkokoh stabilitas dan keamanan. Pembahasan yang menggambarkan realita riil kehidupan umat Islam di berbagai belahan dunia dewasa ini, diperkuat dengan penegasan bahwa melindungi tanah air dari ancaman kehancuran merupakan kewajiban setiap warga.
Nalar sehat pasti sepakat bahwa keutuhan negara jauh lebih mashlahat bagi kehidupan beragama dibanding hidup dalam kekacauan apalagi keruntuhan negara. Kesimpulan ini diperkokoh dengan dalil-dalil normatif serta teladan baginda Muhammad saw. dalam mencintai dan melindungi Madinah.
Tema kedua merupakan tema perluasan makna bela negara. Konsep bela negara bukanlah melulu berbentuk tindakan difensif (difa’ mubasyir), melindungi teritorial negara secara militer dan angkat senjata. Berjuang untuk meningkatkan kualitas semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan bagian integral dari konsep bela negara. Memajukan negara dalam semua bidang merupakan bagian dari jihad fi sabilillah. Atas dasar ini, upaya optimalisasi peran semua elemen bangsa baik ulama, umara’, insan media, pengelola sumber daya alam dan lainnya menjadi sorotan penting dalam beberapa makalah yang disampaikan.
Al-Insan qabla al-bunyan, al-basyar qabla al-hajar, membangun kualitas manusia harus didahulukan dibanding membangun infrastruktur. Dua aspek pembangunan insan dan pengelolaan sumber daya alam secara baik menjadi titik kunci pembahasan sesi ini.
Dr. Riyadh Bazu misalnya menegaskan bahwa investasi terpenting negara adalah menyiapkan sumber daya insani yang berkualitas dalam berbagai bidang (al-istitsmar al-haqīqī fī al-wathan yakūnu bi binā` al-insān awwalan). Oleh sebab itu, langkah-langkah strategis untuk melahirkan insan-isan berkualitas yang dapat memajukan bangsa dan negara harus dilakukan.
Keluarga merupakan entitas penting pertama yang harus diperkuat untuk membangun moralitas, kompetensi dan intelektualitas anak bangsa. Oleh sebab itu peran kaum wanita dalam keluarga sangat vital dalam hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Muhammad Rajab Dib dalam penutupan acara Muktamar Jumat pagi (29/07/2016) di Kanzus-Shalawat.
Pendadaran dalam keluarga kemudian perlu diintegrasikan dengan pendidikan di lembaga-lembaga formal maupun non formal dengan bimbingan para ulama dan ilmuan yang kompeten dan otoritatif, yang bukan hanya mengasah kecerdasan nalar, tapi juga meneladankan akhlak dan tazkiyatun-nafs. Kecenderungan-kecenderungan destruktif, teror, dan anti kerukunan di kalangan pemuda merupakan hasil pendidikan dan bimbingan yang keliru dari para mentor dan guru yang tidak memiliki semangat rahmah dan perdamaian yang secara berantai terwariskan dari Rasulullah saw. kepada para al-‘ulama al-‘amilin melalui sistem sanad.
Media juga mempunyai peran besar dalam hal ini. Dewasa ini media massa menjadi salah satu instrumen penting yang bukan hanya berperan dalam merekonstruksi kesadaran kolektif atau mereproduksi suatu pesan. Namun, ia juga sangat berperan dalam membentuk opini publik, kesadaran kolektif dan perasaan masyarakat. Oleh sebab itu untuk keperluan pembanguan insan berkualitas, media perlu diisi dengan konten-konten yang konstruktif, inspiratif dan mengusung persatuan bukan menebar kebencian, kecurigaan dan perpecahan.
Pengelolaan sumber daya alam dan kemandirian ekonomi mendapat penekanan khusus dalam Muktamar kali ini. Dunia Islam adalah dunia yang kaya dengan beragam sumber daya alam baik pertanian, pertambangan maupun kemaritiman. Berkaitan dengan pertanian Syaikh Dr. ‘Abdul-Qadir ‘Asyur misalnya menegaskan:
“Islam sangat memperhatikan masalah pertanian. Pertanian merupakan sumber kebutuhan pokok manusia. Pertanian berkaitan erat dengan kemadirian dan kekuatan (sebuah bangsa). Bangsa yang tidak dapat mengelola tanahnya sendiri, dan tidak sanggup memenuhi sendiri kebutuhan makanan pokoknya, adalah bangsa yang tidak memiliki kuasa untuk mengambil keputusan secara mandiri, hilang kemerdekaannya dan juga runtuh kedaulatannya. Maka dari itu Islam mengatur kepemilikan tanah dan menetapkan aturan-aturannya untuk menjaga salah satu faktor penting penopang peradaban dan kemajuan ini.”
Muktamar ini dilengkapi dengan tema ketiga yaitu strategi kerjasama dan penguatan jaringan ulama Ahlus-Sunnah wa al-Jama’ah internasional dalam rangka memperkokoh dan menyebarkan semangat perdamaian ke seluruh dunia.
Kedua, catatan penting berikutnya adalah hubungan harmonis antara ulama, pemerintah, TNI, kepolisian dan masyarakat mendapat perhatian khusus para Masyayikh manca negara yang hadir. Sebagian mereka mungkin sulit menemukan sinergi kerukunan antar tokoh agama dan tokoh pemerintahan seperti ini di negaranya. Terlebih bagi delegasi negara yang tokoh agama dan tokoh pemerintahannya sering berada dalam relasi konfrontatif, hingga negara berada dalam kecamuk konflik, peperangan dan aliran darah.
Persatuan dan kesatuan merupakan modal utama dalam membangun bangsa. Tanpa persatuan dan kesatuan, keamanan susah terwujud. Padahal keamanan sebagaimana di tegaskan Syaikh ‘Aun al-Qaddumi (Jordania) mempunyai hubungan resiprokal (al-‘alāqah al-tabāduliyyah) dengan keimanan: menjaga keamanan dan stabilitas bangsa memudahkan ruang bagi upaya peningkatan keimanan (anna isyā’at al-amni tusāhimu fī ziyādat al-īmān). Begitu juga sebaliknya meningkatkan pemahaman agama dan keimanan yang sahih kepada masyarakat akan memperkokoh persatuan dan keamanan bangsa (anna tahrīk al-īmān fī al-mujtama’āt yusāhimu fī tarsīkh al-amn).
Relasi positif antara aktifitas bernegara dan beragama yang secara nyata mewujud dalam kehidupan umat Islam di Indonesia merupakan oleh-oleh berharga yang dapat dijadikan role model bagi para Masyayikh setelah kembali ke negaranya: Indonesia yang jauh lebih banyak keragaman suku, budaya dan kecenderungan pemeluk agamanya dapat disatukan dan hidup berdampingan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketiga, sebagian Masyayikh yang hadir berasal dari negara muslim yang sedang mengalami konflik. Sekedar contoh, Syaikh Dr. Adnan al-Afyuni (Syiria) dan Syaikh Dr. Syukhumi al-Idrisi (Libiya) merupakan tokoh yang secara langsung merasakan getirnya bagaimana negara tercabik-cabik. Ekspresi Syaikh Adnan al-Afyuni dalam ceramahnya mewakili kegetiran tersebut:
“Ketika seseorang negaranya porak poranda, mengalami kehancuran, menjadi rebutan kuasa asing hingga menjadi medan perang yang sengit, dan tidak ada yang tersisa, maka ia akan mengetahui betapa pentingnya nilai sebuah negara”.
Kehadiran mereka di bumi Nusantara menyimpan harapan besar supaya umat Islam di Indonesia tetap terus dalam kondisi aman dan makmur dalam keimanan. Tidak terjerumus mengalami nasib yang sama sebagaimana saudara-saudaranya di Timur Tengah. Ditegaskan oleh banyak narasumber bahwa perpecahan dan perang saudara tak berkesudahan yang terjadi di Timur Tengah telah menghancurkan segalanya baik pendidikan, ekonomi dan peradaban yang selama ini dibangun.
Puncak perpecahan tersebut adalah sikap sektarian dan fanatisme golongan serta merebaknya kecenderungan pemikiran ekstrim dan takfiri (mudah mengkafirkan orang lain) di tengah masyarakat. Mereka tidak menerima fitrah perbedaan, menegasikan sistem otoritas keilmuan (al-marja’iyyah al-‘ilmiyyah) dan enggan hidup berdampingan dengan berbagai elemen bangsa baik yang seagama maupun yang berbeda agama dalam bingkai sebuah negara secara rukun dan damai.
Perpecahan dan perang saudara antar elemen bangsa merupakan ancaman yang membayangi kehidupan beragama maupun bernegara di dunia Islam dewasa ini termasuk di Indonesia. Bahkan Maulana al-Habib Luthfi bn Yahya di akhir acara malam Jumat (28/7/2016) mengingatkan, “Indonesia itu kaya dengan budaya dan suku bangsa, untuk menciptakan perpecahan di dalam Indonesia lebih mudah.”
Dalam pandangan para Masyayikh yang hadir, Indonesia merupakan tumpuan harapan umat Islam di seluruh dunia saat ini dan masa yang akan datang. Islam di Indonesia mencerminkan Islam yang damai dan ramah. Jangan sampai Indonesia hancur diadu domba dengan perang saudara. Oleh sebab itu, upaya untuk mempererat persatuan semua elemen bangsa perlu dikedepankan. Sedangkan aktifitas yang menimbulkan perpecahan harus diredam.
******
Acara muktamar yang digelar oleh kaum sufi Indonesia dan juga acara-acara lainnya yang selalu mengaitkan antara mahabbah terhadap Rasulullah saw. dan mahabbah terhadap tanah air menegaskan untuk kesekian kalinya bahwa gerakan sufi di Indonesia dengan Jam’iyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah al-Nahdyiyah yang dipimpin Maulana al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya, bukanlah gerakan tasawuf isolatif melainkan gerakan tasawuf yang aktif di tengah-tengah dinamika masyarakat, bangsa, negara dan dunia.
Di bawah kepemimpinan Maulana al-Habib, gerakan kaum sufi Indonesia bukanlah gerakan ‘uzlah dari keramaian namun aktif mengarungi kehidupan dalam berabagai aspeknya, dan juga gerakan sufi di Indonesia bukan sekedar aktifitas yang hanya untuk mencapai ketenangan dan kenikmatan spiritual individual, namun gerakan yang memiliki dampak-dampak positif dan inspiratif yang konstruktif baik pada tingkat nasional maupun global.
Mengakhiri tulisan panjang ini perlu kiranya mengemukakan dua pertanyaan reflektif untuk para pembaca: bukankah upaya menghentikan pertumpahan darah, mempererat ukhuwwah dan menebar perdamaian sebagaimana dalam Muktamar merupakan bagian dari ihya’ al-sunnah? Dan bukankah gerakan tasawuf seperti ini yang diharapkan para akademisi pengamat tasawuf dalam seminar dan lembar-lembar kertas makalahnya? (smc-212)
Baca juga Kaum Sufi dan Gelora Bela Negara dari Nusantara (Bagian I)
Arif Chasanul Muna, santri MA TBS Alumni Angkatan 1997, mengajar di Pekalongan