Sebagai anak bangsa yang cinta damai, buku Voting to Violence: Democration and Nationalist Confilct (2000) dinilai cukup menggelitik. Bagaimana tidak, buku terbitan W.W Norton & Company. Inc tersebut membahas anomali demokrasi. Demokrasi yang disebut-sebut menyejahterakan rakyat, tetapi ujungnya justru dizalimi. Akibatnya, pertumpahan darah mewarnai akhir pesta demokrasi yang telah dizalimi.
Kata mantan presiden Bill Clinton, demokratisasi menjauhkan negara dari perang antara bangsa dan perang saudara. Menurut saya, hal itu betul, bagi rakyat yang sudah maju. Bagi rakyat yang belum berkemajuan? Lain lagi! Di AS sendiri, peristiwa Rabu 6 Januari 2021 silam, telah mencoreng wajah demokrasi negeri Paman Sam.
Jika dikomparasikan dengan Islam, bisa jadi ada perbedaan tantara demokrasi dengan metode syura. Meski keduanya hanya berbeda tipis. Namun, keduanya punya persamaan jika dilihat dari prinsip dalam menghargai suara rakyat. Kadang ada orang yang menyamakan syura pada kasus Perang Uhud. Ada pula yang menyamakan dengan peristiwa perjanjian Hudaibiyah. Padahal sangat berbeda antara keduanya.
Nabi yang memiliki peran ganda sebagai kepala negara maupun panglima perang, mestinya dibedakan dalam setiap titik peristiwanya. Peristiwa Perang Uhud misalnya, Nabi saat itu masih berada dalam kota ketika datang pasukan Kuffar Quraisy dari Makkah. Artinya, sebelum perang, masih ada waktu untuk bermusyawarah. Mayoritas suara rakyat berpendapat untuk menghadapi musuh di luar kota. Sementara yang berpandangan sebaliknya ternyata memperoleh suara yang lebih sedikit. Meskipun Nabi sudah melihat sinyal negatif melalui mimpi, hasilnya, Nabi memilih pendapat paling banyak.
Prof. Dr. Khalid Abou Fadl, dkk., mengeluarkan pendapat Vox Populi vox Dei, artinya, suara rakyat, suara tuhan. Kasus diatas adalah salah satu contohnya dimana suara terbanyak akan menjadi keputusan yang diambil. Meski seorang pemimpin tahu, risiko yang dihadapinya akan semakin tinggi. Artinya Vox Populi vox Dei berbeda satu saja suara pendapat terbanyak, maka pendapat itulah yang akan diambil.
Berbeda dengan “amar” beliau pada peristiwa Hudaibiyah, peristiwa ibadah umrah yang tiba-tiba musuh muncul di depan mata. Nabi tidak menerima pendapat dari Umar bin Khattab karena sudah diberi sinyal, terbukanya kota Makkah dari Allah. Sinyal itu sangat meyakinkan karena datang dari al Qur’an sendiri (QS. Al-Fath: 1-3). Maka, meskipun Umar bin Khatab secara ketus melontarkan protes, Nabi tidak beranjak dari pendiriannya. Protes Umar bin Khathab tersebut karena klausul perjanjian yang tampak sekilas merugikan Islam. Lagi pula sejak awal peristiwa Hudaibiyah tidak dibuka termin musyawarah seperti peristiwa Uhud. Kasus Hudaibiyah adalah peristiwa dimana umat Islam Madinah dihadang masuk ke Makkah oleh kaum Quraisy. Mendadak ibadah umrah dan haji tersebut menjadi peristiwa politik dan militer di mana musuh ada di depan mata. Di sinilah komando dan ketaatan umat diuji.
Sedangkan, anomali demokrasi yang sedang menciptakan suhu panas politik global adalah demokrasi di Myanmar. Kaum muslimin di sana cukup dilematis. Karena di samping penguasa militer sebagai pemimpin kudeta di bawah Min Aung Hlaing yang represif, ada tokoh seperti Wurantu ultra Budhis yang menginginkan negara berdasar agama Budha. Jika partai yang diketuai Wuranto ini menang, nasib umat Islam akan seperti India di bawah partai Janata dengan Narendra Modi yang ultra Hinduis. Kita melihat lebih limaratus nyawa melayang karena demokradi dizalimi. Memang ada sedikit keuntungan bagi muslim Rohingya di Myanmar, karena meskipun dalam tekanan junta militer, non Islam mulai menggandeng tangan mereka dalam menghadapi junta.
Bila dimuqaranahkan dengan Republik Indonesia, demokrasi dalam Islam yang dipilih para ulama nusantara memang sangat cantik dan elegan. Ia adalah demokrasi berketuhanan. Di sini, nilai kebangsaan Indonesia tidak bersifat ta’ashub-chaufinistik yang melanggar nilai “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Oleh karenanya, Negara Kesatuan Republik Indonesia berazaskan ketuhanan Yang Maha Esa (UUD45, ps. 29/1). Lebih dari itu, negara tidak boleh dijungkirbalikkan menjadi demokrasi “Keuangan Yang Maha Kuasa” seperti yang sangat ditakuti oleh al- Maghfurlah Gus Dur. Wallaahu A’lam bis-Shawaab.
Baca artikel menarik lainnya disini.