Idulfitri selalu ditunggu oleh muslim setelah melakukan puasa sebulan penuh. Hari itu, semua orang akan merasakan kebahagiaan. Umat muslim bahagia karena bertemu sanak saudara, hingga beberapa acara reuni dan acara silaturrahmi lainnya. Sedang, bagi yang tidak merayakan Idulfitri, akan merasakan hari libur.
Kebahagiaan kedatangan hari kemengangan sangat dirasakan hampir semua sektor perputaran ekonomi. Mulai dari tukang batu, penjual bahan bangunan, tukang cat, penjahit dan penjual pakaian sampai penjual aneka makanan ringan. Dua tersebut di akhir, merekalah yang paling diuntungkan. Istilah dalam bahasa Kudus disebut mremo.
Selain itu, kebahagiaan Idulfitri juga dirasakan fukoro wal masakin. Orang-orang yang mempunyai rezeki lebih akan menaikkan derajat mereka pada hari yang penuh kemuliaan tersebut. Ada juga kewajiban membayar zakat fitrah sebesar 2,5 persen dari pendapatan kesehariannya. Belum lagi, beberapa handai taulan yang dermawan akan dengan penuh keihlasan mengunjungi mereka yang membutuhkan bantuan.
Dulu sekali, di Kudus Kulon, ketika mendekati Idulfitri, pemilik toko biasanya memenuhi tokonya dengan beraneka ragam kue dan sajian dalam toples. Terkadang saking penuhnya, mereka memanfaatkan trotoar depan tokonya untuk menaruh dagangan mereka sampai tak bisa dilalui pejalan kaki. Belum lagi maraknya pedagang tiban yang memenuhi pinggiran jalan dari alun-alun Kudus sampai Menara Kudus waktu itu. Pedagang tiban biasanya hanya menempati pinggiran jalan dan hanya dalam keadaan tertentu saja, tidak tiap hari. Mereka menggunakan beberapa perlengkapan jualan yang sangat mudah untuk dipindahkan.
Di pasar tradisional lain lagi, menjelang Idulfitri, pasar tradisional sangat ramai melebihi hari biasa. Kesempatan tersebut dimanfaatkan pedagang tiban yang mencoba mencari keberkahan di hari-hari akhir ramadan. Sebagian besar dipenuhi oleh pedagang ayam yang meluap sampai luar pasar. Mereka sangat memahami akan kebutuhan masyarakat saat menjelang Idulfitri. Bahu-bahu jalan menuju pasar pun mereka penuhi dengan ayam dagangannya. Ayam jantan menjadi primadona yang paling banyak dicari dan dibeli karena dagingnya lebih banyak ketimbang ayam betina.
Tempo dulu – mungkin sampai sekarang – harga-harga sembako secara otomatis naik jika mendekati Idulfitri. Contohnya, harga ayam yang biasanya dijual dikisaran harga 15 rupiah, maka untuk harga mremo Idulfitri harga itu naik menjadi 30-35 rupiah. Pedagang ayam pun betul-betul merasakan kebahagiaan karena untung yang diperolehnya berlipat-lipat.
Bagi masyarakat Kudus Kulon, Idulfitri sangat erat hubungannya dengan kuliner opor ayam. Tanpa opor, Idulfitri terasa hambar. Opor Kudus Kulon terkenal memiliki cita rasa yang sangat khas. Penyajiannya tidak sekadar nasi dan opor ayam, tapi ada amput (tepung kedelai yang disangrai) yang ditaburkan di atasnya. Opor juga menjadi hantaran kepada orang tua yang kebetulan tidak sempat memasak.
Selain itu, jajanan yang disuguhkan ketika Idulfitri di Kudus Kulon memang tidak jauh berbeda dengan daerah lain. Bedanya, hanya pada botol – tempat semacam toples – dengan mulut yang lebih kecil. Sehingga, jika orang dewasa hendak mengambil jajan, maka hanya muat memasukkan dua jarinya saja. Mungkin hal tersebut bisa dikaitkan dengan unggah-ungguh bertamu.
Di Kudus Kulon, tepat setelah salat Idulfitri, semua anggota keluarga berkumpul di ruang keluarga untuk sungkem. Mulainya, dari Ibu kepada bapak dan sebaliknya, dilanjutkan dari anak paling tua sampai paling kecil. Dari yang meminta maaf mengatakan, “Ngaturake sugeng riyadi, sedoyo kelepatan lahir utawi batos nyuwun dipun apunten”, kemudian dijawab dengan, “Yo sak balike, nek aku nduwe salah lahir utowo batin ugo diapuro, kabeh salah lan khilaf lebur nok dino riyoyo iki”.
Selanjutnya bapak dan ibu akan mengajak semua anak-anaknya mengunjungi sanak famili dan handai taulan. Utamanya kepada yang ‘kapernah’ sepuh seperti Simbah, Pak dhe, atau Bu dhe. Kehangatan yang tercipta pada setiap kunjungan biasanya diwarnai dengan nostalgia cerita masa kecil. Terkadang, Pak dhe budhe juga ‘njlentrehke’ sesambungan sanak. Hal tersebut dilakukan untuk maksud “Ora kepaten obor”. Artinya, sanad keluarga atau garis keturunan dijelaskan runtutannya.
Tak jarang juga, Pak dhe atau Bu dhe melempar beberapa pertanyaan kepada keponakannya. “Iki sing ayu anak nomer piro, iki sing jenenge sopo, wis ono calone durung?” Pertanyaan itu, hampir ditanyakan oleh sebagian besar keluarga, ada yang memang sengaja menanyakan untuk kemudian ditawari jodoh, atau bahkan ada yang bertanya dngan nada bercanda. Di sinilah kekerabatan dan kebahagiaan antarkeluarga yang semakin harmonis dan hangat.
Suasana jalan tempo dulu juga hanya dipadati para pejalan kaki, pesepeda, dan pembecak. Pembecak adalah sarana transportasi yang umum dipakai kala itu, mobil dan sepeda motor masih sangat jarang. Disanalah titik dimana antar rombongan keluarga yang berpapasan saling bertegur sapa. Tidak jarang, rombongan yang kebetulan satu arah, mereka berjalan beriringan sambil berbincang-bincang. Jalanan pun seketika berubah menjadi ajang sarana silaturrahim yang betul-betul “rahat” sehingga membentuk pemandangan yang betul betul membahagiakan.
Sekarang, Idulfitri di Kudus Kulon banyak yang berubah. Dulu yang mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai pedagang, sekarang profesi tersebut mulai ditinggalkan. Mereka banyak yang beralih profesi menjadi guru, buruh atau karyawan swasta. Imbasnya, jika Idulfitri, mereka dibatasi oleh kalender kerja. Waktu yang dulunya bisa sebulan penuh bersilaturahim, sekarang libur Idulfitri hanya 3-6 hari. Waktu sesingkat itu, paling hanya digunakan untuk bercengkerama dengan keluarga dekat saja. Keceriaan dan guyonan semasa kecil bersama sanak famili yang lain tidak lagi mereka temukan.
Berkurangnya saling berkunjung di hari idul fitri berakibat semakin berkurang pula keakraban hubungan diantara sesama sanak famili. Menu opor ayam khas Kudus Kulon pun, sekarang nasibnya hampir dilupakan. Menu-menu hidangan dan jajan di meja, kebanyakan dipesan melalui aplikasi gawai mereka. Dari hubungan yang semakin jarang, alhasil, sesama saudara sepupu saja kadang akan berasa jauh.
Dari fenomena tersebut, beberapa keluarga besar, menyiasatinya dengan menggelar pertemuan besar. Trend tersebut, sebagai ikhtiyar agar tidak sampai ‘kepaten obor dan balung pisah’ meski terbatas, toh mereka bisa saling berkumpul. Pertemuan besar setahun sekali ini mereka labeli sebagai forum silaturahim keluarga besar. Mereka membentuk kepengurusan dan membuat agenda, seperti mendokumentasikan nama-nama yang termasuk keluarga besar tersebut kemudian dibuatkanlah silsilah. Langkah selanjutnya adalah menggelar pertemuan pada hari yang sudah dimusyawarahkan dan disepakati.
Waktu pertemuan sudah direncanakan jauh-jauh hari, agar dapat disiasati oleh semua anggota keluarga. Acaranya pun disusun sedemikian rupa dan dipersiapkan semua keperluan acaranya, mulai dari konsumsi, pengeras suara, hingga tenda jika dibutuhkan. Pertemuan ini berlangsung tidaklah lama dan diakhiri dengan saling bermusafahah dan halal bi halal. Setelah acara selesai sebagian mereka ada yang melanjutkan ke tempat lain dan sebagian lainnya pulang ke rumah masing masing. Bagi mereka yang sudah saling mengenal, pertemuan semacam ini tentu sangat berarti. Tetapi bagi yang tidak saling mengenal, pertemuan ini tentu kurang bermakna karena tujuan silaturahim adalah saling mengenal satu sama lain. Jadi, forum semacam ini telah berhasil mengumpulkan balung pisah, tetapi sebagian mereka ada yang tetap kepaten obor.
Baca artikel menarik lainnya disini.