SANTRIMENARA.COM, MALANG – Selama ini, perjuangan para kiai-santri tidak mendapat ruang dalam narasi sejarah kebangsaan. Buku-buku sejarah yang ditulis oleh akademisi, tidak memihak pada sejarah pergerakan komunitas santri. Itulah yang mengilhami Munawir Aziz, Wakil Sekretaris Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama untuk menulis buku tentang kisah-kisah perjuangan para pahlawan dari pesantren.
Narasi ini, tercermin dalam bedah buku ‘Pahlawan Santri’ yang diselenggarakan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Malang, pada Rabu, 5 Oktober 2016, di Perpustakaan Universitas Negeri Malang. Bedah buku ini, menghadirkan Munawir Aziz (periset dan penulis buku) dan Prof. Dr. Joko Saryono (Guru Besar Universitas Negeri Malang).
Munawir Aziz, mengungkapkan bahwa sudah saatnya sejarah pesantren mendapat ruang dalam narasi sejarah di negeri ini. “Momentum penetapan Hari Santri, pada 22 Oktober 2016 lalu menjadi refleksi yang tepat untuk menjelaskan posisi santri dalam perjuangan kebangsaan,” ungkap Munawir. Penulis buku ini, menjelaskan bahwa menulis sejarah santri, berarti mengokohkan identitas, menguatkan mental dan konstruksi komunitas.
“Tanggal 22 Oktober 1945 merupakan titik sejarah Resolusi Jihad, yang digelorakan Kiai Hasyim Asy’ari. Resolusi Jihad inilah yang menggerakkan perjuangan arek-arek Jawa Timur, pada 10 November 1945, yang dikenal sebagai Hari Pahlawan,” terang Munawir, yang telah beberapa buku bertema Islam Nusantara.
Pada sisi lain, Munawir mengungkapkan bahwa sosok-sosok kiai yang menjadi simpul perjuangan kemerdekaan, layak disebut sebagai pahlawan. “Banyak sekali kiai yang layak disebut sebagai pahlawan bangsa. Mereka menjadi simpul perjuangan kebangsaan dari Aceh, hingga kawasan Indonesia timur.
Prof. Dr. Joko Saryono menambahkan bahwa status pahlawan yang dibutuhkan adalah legitimasi. “Memang secara formal administratif, ada beberapa hal yang menjadi syarat tokoh layak dianugrahi gelar pahlawan. Namun, bagi saya, yang paling penting adalah legitimasi bagi para tokoh sebagai pahlawan bagi masyarakatnya. Apa artinya gelar tanpa legitimasi,” jelas Joko Saryono.
Lebih lanjut, Saryono mengungkapkan bahwa narasi dalam buku Pahlawan Santri, menjelaskan tentang suara-suara kaum santri, dalam konsep the others atau liyan. “Penting untuk menyuarakan aspirasi komunitas santri, dalam lingkup sebagai the Others/Liyan. Senada dengan gagasan pasca kolonial yang dikembangkan Spivak,” ungkap Saryono.
Bedah buku Pahlawan Santri merupakan rangkaian acara yang diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama dan komunitas pesantren dalam rangka Hari Santri Nasional, 22 Oktober 2016 (Muiz).