Akhir-akhir ini saya begitu merindukan zamannya pak Harto, tapi tidak sama sekali merindukan pak Harto. Merindukan sesuatu tanpa kehadiran sesuatu. Saya merindukan masa kecil saya. Masih teringat betul bagaimana jadwal keseharian hanya bermain-main dan mengaji di surau.
Setiap akhir pekan kadangkala saya tamasya ke kota. Ya, meski sekadar membeli yakult atau bermain di gamezone supermarket. Sampai lupa waktu. Masa kecil begitu menyenangkan tanpa berpikir “esok hari ada acara apa, bulan ini mau beli apa, melunasi cicilan, atau melengkapi kebutuhan”. Tapi toh ternyata waktu terus berjalan, hal indah hanya patut dikenang dan hidup harus terus berjalan.
Curi dengar di warung kopi, zamannya pak Harto itu zaman paling suram bagi orang-orang tua saat itu, alasannya jelas, pak Harto memimpin negara selama 32 tahun. Usia yang bahkan lebih sepuh dari saya saat ini. Sekarang saja, hampir 10 tahun dipimpin orang yang sama, anak dan menantunya sudah jadi walikota. Bagaimana dengan Negara yang dipimpin orang yang sama selama 32 tahun? Bayangkan saja.
Tapi entah kenapa saat dewasa hal-hal yang menyenangkan saat pada masa kecil itu kok ternyata berubah? Orang-orang tua yang dulu rajin ke masjid kini satu-persatu telah wafat, simbok-simbok yang dulu ramai dipasar kini dipandu anaknya untuk berjualan lewat daring.
Teman masa kecil? Jangan ditanya, mereka kini sudah menikah, hidup berbahagia bersama pasangan masing-masing, buat rumah sendiri atau pindah di rumah mertua. Apa ini yang disebut dengan realitas hidup? Pada satu masa semua akan berubah?
Saya sadar bahwa kebaikan, saling memahami, ternyata masih lekat dengan kehidupan kita, kita hanya perlu keluar, bercengkerama dengan orang lain, saling sapa dan memberikan senyuman, harapan tentang kebaikan masih cerah diluar sana. Dalam perkembangannya walaupun toh manusia besifat selfish, kebutuhan untuk saling melengkapi akan selalu hadir.
Saya teringat salah satu sufi agung yang punya cara tepat untuk menerjemahkan masalah ini. Maulana Jalaluddin Rumi dalam ghazalnya “Karena cinta, ampas berubah menjadi sari murni, karena cinta, pedih menjadi obat, karena cinta, kematian berubah menjadi kehidupan, karena cinta, raja berubah menjadi hamba”.
Dengan cinta, kita saling memahami, sejenak menundukan ego. Pertama-tama kita harus belajar tentang obyek-obyek cinta, Erich Fromm menjabarkan beberapa obyek cinta dalam bukunya. Pertama, Cinta Erotis, cinta antara dua insan. Cinta ini sering rancu dengan istilah jatuh cinta. Keadaan kasmaran antara dua orang yang meledak-ledak. Bukan, cinta erotis adalah pengenalan diri dari dua orang yang bermuara pada pengenalan diri masing-masing.
Kedua, Cinta Keibuan yaitu afirmasi tanpa syarat atas hidup sang anak beserta kebutuhannya.Barangkali ini contoh altruism terbaik dalam hubungan mahluk hidup. Cinta ibu pada anak adalah cinta tanpa mengharapkan apapun. Ketiga, Cinta Persaudaraan, ini adalah jenis cinta paling fundamental. Termasuk rasa hormat, tanggung jawab, pengetahuan, perhatian pada manusia, dan keinginan kemajuan bersama, adalah semangat dalam cinta persaudaraa. Tidak ada yang namanya masyarakat tertentu, yang ada hanya “masyarakat”. Keempat, Cinta Tuhan, cinta sebagai manifestasi paling religius dari ketuhanan, cinta tumbuh dari keterasingan menuju penyatuan hakiki[i]3.
Setelah cinta, muncullah, Etiket untuk memahami orang lain. Kiai saya pernah dawuh untuk selalu mengutamakan etiket (adab) dulu baru ilmu (akal). Istilah etika dan etiket memang hampir sama. Terdapat ciri yang membedakan keduanya. Etiket menyangkut cara suatu perbuatan yang dilakukan manusia. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan atau obyek, etiket bersifat relative atau sesuai dengan kebudayaan di satu tempat. Misal, etiket minum di Jepang tentu berbeda dengan etiket minum di Indonesia[ii]4.
Dalam tradisi islam saya selalu ditegaskan bahwa segunung apapun ilmumu tanpa etiket semua jadi sia-sia. Dengan belajar etiket pengejawantahan kita tentang konsep cinta akan menjadi lebih bisa dipahami. Unggah-ungguh adalah ruh kemanusiaan, bicara dengan orang yang lebih tua ataupun lebih muda pun juga harus sesuai unggah-ungguh, itu yang membedakan kita dengan mahluk hidup yang lain. Lebih jauh lagi semua dimulai dari adanya kesadaran, kesadaran membawa kita untuk menempatakan diri, menundukkan ego dan saling berbagi, bukan hal yang sulit, tapi butuh waktu seumur hidup untuk belajar berkesadaran. Semoga kelak kita bisa jadi keluarga besar manusia tanpa sekat, ras, agama, ketimpangan gaji, pandangan politik.[]
Ilustrasi karya: Yunus
Baca lainnya di sini atau telusuri
tulisan lainnya dari Moh Abdul Jabar
[i] Erich Fromm “Seni Mencintai” hal 108-109
[ii] K. Bertens “Etika” hal 06