Edisi 6 Jum’at, 18 Dzul Qo’dah 1438 H / 11 Agustus 2017 M
Oleh: Faishol Arijuddin, S.Pd.I
Haji atau Umrah ke tanah suci Mekah adalah impian setiap muslim, akan tetapi ketika sudah cukup biaya, serta sehat jasmani dan rohani sering terlintas di pikiran untuk menentukan pilihan apakah umrah atau haji dulu? Mengingat kesempatan untuk bisa berangkat haji harus menunggu giliran 19 tahun atau bahkan lebih.
Secara terminologi, haji ialah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melakukan ibadah tertentu. Haji merupakan salah satu rukun islam yang diwajibkan Allah atas hamba yang mampu menunaikannya, yakni memiliki biaya yang cukup, serta sehat jasmani dan rohani untuk menunaikan perintah tersebut. Ukuran mampu dalam berhaji adalah sebagai berikut:
- Mampu di bidang kesehatan. Artinya, harus berbadan sehat sehingga dapat mengerjakan amalan-amalan haji.
- Mampu di bidang keuangan. Artinya, mempunyai uang yang cukup untuk dirinya dan keluarga yang ditinggalkannya.
- Ada kendaraan yang membawanya ke Tanah Suci, seperti mobil, kereta api, kapal terbang, baik itu disewa atau miliknya sendiri.
- Aman di perjalanan. Artinya, ia yakin bahwa dirinya dan segala bekalnya aman selama di perjalanan dalam menunaikan ibadah haji.
- Tidak ada halangan atau hambatan dalam menunaikan ibadah haji, baik disebabkan adanya sabotase, perang atau karena penguasa yang dzalim dan serakah, yang sengaja menghalangi manusia dalam melaksanakan ibadah haji.
Haji adalah ibadah wajib tahunan yang dilakukan kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia. Tak ayal, setiap musim haji, kota Mekah dan sekitarnya selalu dipenuhi ratusan ribu pendatang, baik domestik maupun internasional, untuk menunaikan ibadah haji. Ini tentu merupakan tugas dan beban berat bagi Kerajaan Arab Saudi, untuk berupaya penuh dalam memfasilitasi dan melayani seluruh tamu-tamu Allah dengan baik. Dari sini, perlu diberlakukan pembatasan kuota jamaah haji di seluruh negara untuk menekan membeludaknya jamaah haji.
Di Indonesia, Kementerian Agama melalui Direktorat Jenderalnya yang berperan sebagai Penyelenggara Ibadah Haji (PIH) bertanggungjawab penuh melayani para calon jamaah haji (CJH), mulai sejak masa pendaftaran, pembinaan dan bimbingan manasik, penyelesaian dokumen dan paspor, masa pemberangkatan, pelaksanaan operasional di Arab Saudi, hingga masa pemulangan jamaah ke tanah air.
Agar pelayanan tersebut bisa optimal dan merata, maka dibutuhkan adanya Dokumen Administrasi Perjalanan Ibadah Haji (DAPIH) sebagai sarana pengendali data jamaah dan pemberlakuan daftar tunggu (waiting list) CJH guna menyiasati pembatasan jatah kuota yang telah diberikan Pemerintah Arab Saudi untuk Indonesia. Tentu, semua itu demi kebaikan dan kenyamanan para jamaah selama menunaikan ibadah haji.
Penyelenggaraan haji di Indonesia secara legal hanya ada dua jalur, yakni jalur reguler dan jalur haji khusus (haji plus), sesuai kuota yang diberikan Pemerintah Arab Saudi. CJH reguler yang telah membuka Tabungan Haji pada Bank Penerima Setoran (BPS), akan mendapatkan porsi dan akan terdaftar dalam waiting list. Kemudian, sebelum berangkat ke tanah suci, CJH harus melunasi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan melengkapi syarat-syarat lain, sesuai waktu yang telah ditentukan oleh Pemerintah. Jika tidak, pemerintah akan memberikan kesempatan ke Tanah Suci ini kepada jamaah lain.
Ini berbeda dengan pemberian porsi dengan cara menyerobot jatah CJH yang telah memenuhi segala persyaratan. Tindakan ini dilarang karena merupakan pengkhianatan atas apa yang telah diamanatkan, dan juga terkategori ghashab, karena telah menguasai hak seseorang dalam menikmati layanan pelaksanaan ibadah haji.
Adapun haji plus atau jalur khusus yang ditangani oleh PIHK (Penyelenggara Ibadah Haji Khusus), adalah upaya instan Pemerintah kepada para jamaah yang ingin segera berhaji untuk menyiasati panjangnya antrian haji regular.
Sesuai dengan Undang-Undang UU 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Kemenag merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas penuh dalam menyelenggarakan ibadah haji di Indonesia, termasuk untuk memberangkatkan para calon jamaah dari pihak biro dan KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji) selaku pembimbing langsung CJH. Maka, jika ada pihak biro maupun KBIH yang merekrut CJH dan berjanji bisa memberangkatkan ke tanah suci melalui jalur khusus, hal itu jelas salah, karena hanya Pemerintahlah (dalam hal ini Kemenag) yang berwenang melakukan hal ini. Untuk itu, kita harus selalu waspada terhadap biro perjalanan haji yang tidak memiliki ijin, alias biro abal-abal.
Fenomena waiting list yang membuat orang lama menunggu, atau haji plus bagi yang mau membayar lebih ini memunculkan trend baru di masyarakat. Banyak dari mereka lebih memilih menunaikan ibadah umrah ketimbang harus antri lama untuk berangkat, atau ketimbang kembali merogoh kocek untuk memilih haji plus. Lantas, bagaimana menanggapi fenomena ini?
Dari segi bahasa, umrah berarti berkunjung. Secara syar’i, umrah berarti berkunjung ke Baitullah untuk melaksanakan ibadah dengan aturan tertentu. Umrah boleh dilakukan kapan saja, tidak seperti haji yang hanya dilaksanakan pada bulan Dzul Hijjah. Umrah juga disebut al-hajj al-ashghar atau haji kecil, karena seluruh ritual yang dilakukan ketika melaksanakan umrah, tercakup dalam ritual ibadah haji.
Hukum Haji dan Umrah
Para ulama’ berselisih pendapat tentang hukum melaksanakan umrah. Pendapat pertama mengatakan bahwa hukum umrah adalah sunnah muakkadah (sunah yang kuat). Ini merupakan pendapat imam Abu Hanifah, imam Malik, Ibnu Mas’ud, Abu Tsaur, salah satu riwayat dari imam Ahmad, dan imam Syafi’i dalam qaul qadimnya. Mereka berpijak pada sabda Nabi saat ditanya tentang hukum melaksanakan umrah, yang kemudian dijawab: “Tidak, namun jika kalian melakukan umrah, maka itu lebih baik.” Juga atas dasar sabda Nabi: “Haji adalah jihad, sementara umrah hanyalah tathawwu’ (sunah).” Selain itu, pelaksanaan umrah yang tidak terikat waktu, juga dijadikan penguat bahwa hukum umrah adalah sunah.
Pendapat kedua mengatakan bahwa hukum umrah adalah wajib. Di antara ulama’ yang berpendapat demikian ialah imam Syafi’i dalam qaul jadidnya, imam Ahmad (menurut riwayat yang lain), imam asy-Sya’bi dan ats-Tsauri. Mayoritas ulama’ dari kalangan shahabat juga berpendapat seperti ini. Mereka bersepakat bahwa pelaksanaan umrah yang terkategori wajib hanya perlu dilakukan sekali seumur hidup, seperti ibadah haji. Dalil yang dipakai diantaranya adalah hadits shahih yang menyebutkan bahwa Aisyah pernah bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah wanita wajib berjihad?” Beliau menjawab: “Ya, jihad tanpa perang, yaitu haji dan umrah.”
Dampak dari kedua pendapat ini sangatlah terasa, khususnya bagi mereka yang hanya memiliki bekal untuk melakukan salah satu dari keduanya, haji atau umrah. Menurut pendapat pertama, sebaiknya ia memprioritaskan bekalnya untuk haji, karena umrah hanyalah sunnah muakkadah. Sedangkan menurut pendapat yang kedua, ia boleh memilih salah satu, karena hukum keduanya adalah wajib. (Aulawi)
Oleh: Faishol Arijuddin, S.Pd.I
Alumnus TBS Kudus